Instan

Kang Marbawi
0 Komentar

Mungkin Roy Citayam, pun milenial lainnya, tak sadar akan akar jatidiri berbasis budaya. Yang mereka sadar adalah membuat konten adalah perwujudan pengakuan akan eksistensinya. Merengkuh asa menjadi terkenal ala selegram (selebriti instragram) atau youtuber adalah jalan instan yang bisa diraih.

Tak perlu sekolah! Asal follower dan subscriber membanjir, pasti cuan mengalir. Itulah tujuannya. Asal kreatif pasang gaya atau makin tak rasional bergaya alias “gila”, (seperti fenomena anak menghadang truk trailer hingga terlindas), makin mudah menjambret follower dan subscriber.

Generasi instan, seperti menikmati kopi instan yang tinggal seduh. Tak perlu repot meracik bahan-bahan dan berpeluh. Langsung terasa yang dimaui. Proses hidup adalah produksi konten. Bukan berproses dalam pengalaman hidup.

Baca Juga:Programa Upland Manggis Diperiksa Unit Tipidkor Satreskrim Polres SubangKemensos Berbagi Kegembiraan dengan Anak-anak di Lokasi Pengungsian Korban Gempa Majene

Menjadi pembelajar dibangku sekolah pun, tertantang medsos. Dawuh guru tak semempan influencer. Menjadi kutu buku, semakin jauh. Melahirkan kejumudan pikir, menumpulkan rasa dan nurani. Guru tak lagi digugu dan ditiru. Entah karena memang sudah usang teladannya atau tak ada teladan. Tontonan jadi tuntunan, tuntutnan jadi tontotnan. Orang tua pun menggelosor dalam dekapan ruang maya. Tak ada parenting dan berlindung pada sibuknya aktivitas. Maka, selamat tinggal bangku sekolah, selamat tinggal cengkrama rumah. Selamat datang pejuang konten, dunia maya. Memetik eksistensi berbuah cuan ala anak-anak SCBD , BSD, Roy Citayam, adalah fenomena saat ini.
Sejatinya, kejatidirian itu dibangun dari rumah dan sekolah, bukan di dunia maya. Masih adakah ruang di sudut rumah untuk anak-anak sebangsa Roy Citayam? (*)

OLEH: Kang Marbawi

Laman:

1 2
0 Komentar