Permakultur

Belajar Filsafat
0 Komentar

Pojokan 72

Dunia terbalik! Bukan merujuk kepada sinetron “Dunia Terbalik” yang dilakoni Agus Kuncoro (pemeran Akum) dan Idrus Madani (pemeran Ustadz Kemed). Tapi pada keterbalikan kehidupan kita sendiri. Apa yang seharusnya, diabaikan! Sebaliknya, apa yang tak seharusnya, diprioritaskan! Paradoks. Entah apa itu. Karena masing-masing bisa berbeda definisi, apa yang seharusnya dan tak seharusnya.

Seperti di era media sosial (medsos), hidup kita bukan hidup untuk kita. Tapi hidup untuk melihat status, story, tweetan dan postingan orang lain. Atau mengumbar curhatan dan pamer aktivitas di ruang maya. Adiksi medsos dan takut dibilang “tak update”. Eksistensi yang semestinya tertutup dan menjadi ruang kontemplasi spiritual dan sosial, berubah menjadi komoditas.   Tak terkunci bahkan sengaja dibuka untuk dimasuki gatra lain. Kita pun hidup menyesuaikan dan disesuaikan atas vista itu. Cara hidup dan cara pandang yang didiktekan. Ruang fisik tergantikan dengan interkoneksi maya. Kadang menumpulkan nalar dan rasa.

Di jagat maya, eksistensi adalah status, story, tweet, postingan atau lainnya. Realitas sosial dikonstruksi ulang. Melahirkan realitas baru, bahkan hyperrealitas -kebohongan yang dianggap realitas alias hoaxs. Begitu kata Jeand Baudrillard.  Individu mampu bermetamorphosis, berevolusi, mencipta, mengubah peran, identitas dan konsep diri sesuai keinginan.  Seolah kita bisa mencipta hidup itu sendiri dan diciptakan dalam dunia baru, dunia maya. Penciptaan hidup yang cenderung egoistik, nir rasa dan nir kepekaan. Dunia tanpa jiwa. Dunia yang selalu membuka mata, namun meniduri mata hatinya. Malar-malar, jiwanya mati.

Baca Juga:Mang Eep Beri Nilai 7 Kepada Ruhimat, Ini AlasannyaBayi 9 Bulan Idap Tumor, Polsek dan Muspika di Pusakanagara Akan Bantu Penggalangan Dana

Padahal kehidupan dan realitas sosial seperti permakultur. Permakultur sejatinya adalah tumpang sari dalam pertanian. Semua ditanam bersama, tak homogen satu tanaman. Beragam, namun indah penuh warna. Terlihat “acak adut”, namun beretika dan beraturan. Tumpang sari atau permakultur yang telah menjadi budaya pertanian kita, sejak dulu kala. Jauh sebelum Joseph Russell Smith menuliskannya dalam Tree Crops: A Permanent Agriculture tahun 1929.

Hidup dalam habitus permakultur adalah kemampuan untuk mengintegrasikan kepekaan hati, kecerdasan pikir dan etika dalam relasi-sinergi lingkungan sosial yang saling menguntungkan. Permakultur yang melahirkan ketahanan ekosistem sosial dan alam yang produktif. Berpusat pada merawat bumi-lingkungan. Bukan hidup yang mengumbar impian dan nafsu kepentingan sendiri yang tak bertanggungjawab. Serakah!

0 Komentar