Revitalisasi Sastra Lisan (RSL) Bina Karakter Negeri

0 Komentar

Hal ini memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan yang tak bisa diremehkan sama sekali. Karakter-karakter dalam tokoh dalam sastra lisan kerap kali mempengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi bahkan mengubah dunia. Contohnya adalah kisah tentang Siegfried ksatria pahlawan legendaris dan nasionalisme Teutonik bertanggungjawab mengantarkan Jerman pada perang dunia kedua. Berikutnya ialah kisah Barbie, boneka molek, menjadi role model bagi jutaan gadis cilik bahkan wanita, dengan memberikan standar gaya dan kecantikan Lazar (dalam Setya, 2018:12).

Sastra lisan Melayu yang merupakan sastra lisan Indonesia dengan berbagai genrenya diciptakan untuk menumbuhkan religuitas, mengajar agar berlaku jujur, rasa ingin tahu, toleran, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan dan sosial, atau tanggung jawab yang kesemuanya bermuara pada pembinaan karakter. “Nyanyian Panjang Bujang Tan Tomang” juga merupakan produk sastra lisan berbentuk prosa liris yang memuat ajaran-ajaran moral serta perangkat nilai utama; kerukunan, mufakat untuk kesepakatan, keadilan, memegang adat, gotong royong, kesetiaan sabar, dan percaya diri.

Revitalisasi sastra lisan bina karakter negeri sudah seyogyanya terpatri dalam benak kita masing-masing khususnya Generasi muda sebagai penutur pasif sastra lisan yang kini mengalami kesulitan untuk mempelajari sastra tersebut., Karena tanpa disadari jumlah penutur aktif sangat sedikit yang dijumpai bahkan tidak dijumpai sama sekali. Sebenarnya ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mewujudkan RSL.

Baca Juga:Muspika Bantu Biaya Pengobatan Intan, Penderita Penyakit Lumpuh Tulang BelakangJelang Ramadhan Harga Telur Naik

Pertama, kurikulum pendidikan memberi peluang kepada peserta didik untuk membaca dan menikmati karya sastra Indonesia, apalagi daerah. Jika Malaysia mewajibkan pelajarnya membaca karya sastra 6 (enam) judul, di Indonesia bisa diterapkan 3-4 sebagai pemula yang tentunya harus selalu dievaluasi secara berkala. Karena menurut Max Lane, penerjemah karya-karya Pramoedya Ananta Toer ke dalam bahasa Inggris, Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia yang tidak memasukkan sastra sebagai mata pelajaran wajib di pendidikan menengah, bahkan realitanya sebagian besar mahasiswa di jurusan pendidikan bahasa dan sastra tidak memiliki pengalaman baca sastra dalam jumlah yang memadai di SLTA. Melihat minimnya pengalaman membaca atau mendengar karya sastra (sudah ditranskrip) menutup peluang mereka untuk berkelana serta merasakan akan nikmat indahnya sastra lisan.

0 Komentar