Sama Sulit

Sama Sulit
0 Komentar

Hubungan istimewa Djok Mentaya dengan kak Alwy itulah yang membuat saya tidak berkutik. Biar pun saya berhasil mendirikan koran baru di banyak kota di Indonesia saya tidak bisa masuk Banjarmasin. “Dahlan, ikam jangan bikin koran di Banjarmasin lah,” pinta Djok pada saya. Ia tidak ingin B-Post punya pesaing kelas berat.

Saya baru berani mendirikan koran di Banjarmasin setelah Djok sendiri menjual B-Post ke Kompas. Telat. Gara-gara tenggang rasa dengan teman itu saya telat masuk Kalsel. Saya pun tidak pernah berhasil mengalahkan B-Post.

Kisah yang sama terjadi di Denpasar, Bali, dan di Bandung. Saya tidak bikin koran di dua kota itu. Saya diwanti-wanti teman sekelas saya yang jadi wartawan di Bali Post: jangan bikin koran di Bali. Saya juga diminta pak Atang Ruswita, pendiri Pikiran Rakyat yang saya hormati, agar jangan masuk Bandung.

Baca Juga:Pengusaha Perempuan Binaan BRI, Dulang Untung dari Usaha EcoprintMensos Dampingi Jokowi Salurkan Bantuan di Kabupaten Serang

Itulah sebabnya saya juga telat  bikin koran di Bali dan Bandung. Yakni setelah teman sekelas saya itu tidak bekerja lagi di Bali Post. Juga setelah Pak Atang Ruswita meninggal dunia.

Kini persaingan seperti itu tidak diperlukan lagi. Yang menyaingi dan yang disaingi sudah sama-sama sulit. (Dahlan Iskan)

Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Tulisan Berjudul Dua Tinggi

Yea A-ina

Ada Dua tinggi lainnya, sama-sama terjadi di masa kini. Tingginya rente SBN yang mencapai 6,74%, lebih tinggi dibandingkan SBN yang diterbitkan thailand “hanya” berbunga 2, 23%. Maka tidak mengherankan bila 20% APBN digunakan membayar bunga pinjaman saja. Rasanya cukup berat bagi keuangan sebuah negara bila membiayai kebutuhan belanja hanya dengan 80% pendapatannya. Situasi saat ini tak bisa dilepaskan dengan jumlah pinjaman PUBLIK yang tinggi pula, jumlahnya telah mencapai 9 ribu T. 7 ribu T dipinjam pemerintah dan 2 ribu T dipinjam oleh BUM pemerintah. Rasanya untuk mencapai angka 11 ribu T di akhir masa jabatan 2024, bukanlah hil yang mustahal, menurut almarhum Asmuni, pelawak srimulat tempo dulu.

Gambit H-1982

Catatan Editorial: # dulu = Bentuk tidak baku, dalam KBBI kita akan diarahkan ke lema “dahulu”. Walakin ini selera penulis, termasuk Abah DI. # reshuffle = Di-Indonesia-kan menjadi “perombakan”. # apa yang akan dilakukan untuk Papua. = Lebih jelahnya diberi kata ganti orang ketiga: “nya”, pada verba “dilakukan”. Dan ihwal akhir intonasi kalimat ini, rasanya lebih pas diberi “tanda tanya” (?). # sungai Baliem, sungai terpenting di Lembah Baliem. = Tak ada beda kaidah kapitalisasi antara frasa “sungai Baliem” dan “Lembah Baliem”. Yang kedua layak menjadi rujukan, sedang yang pertama harusnya mengikuti. # mencalonkan diri sebagai Gubernur Papua. = Belum definit, “g”-nya tak perlu dicetak besar. # Hubungan kalah-menang itu mestinya sudah lebih cair. = Kata “lebih” agak mubazir. Konflik yang terjadi masih di ranah asumtif, jauh dari realitas. # John lulusan Akademi Pariwisata Manado dengan S1 = Efektifnya: John lulusan S-1 Akademi Pariwisata Manado, tanpa “dengan”. # S1 dan S2 = Karena angka pengiri huruf kapital di sini tidak menyatakan “jumlah”, melainkan “tingkatan”, maka perlu adanya tanda hubung pemisah. # Kini, sebagai wakil menteri dalam negeri, John = Sudah resmi, jabatan tersebut perlu dikapitalkan, sebagai identitas. # ketua BKPM = Termasuk nama diri, kapitalkan huruf “k”. Adapun BKPM, kata ini singkatan dari “Badan Kordinasi Penanaman Modal”. # glamour = Sudah ada padanannya, yaitu “glamor”. Beda tipis. Di antara artinya, tampak memikat. Demikian. Salam Jumat.

0 Komentar