Gangga Risma

Gangga Risma
0 Komentar

Setelah matahari tinggi saya meninggalkan Gangga. Selebihnya tinggal atraksi turis. Yang tidak peduli keutamaan waktu ke Gangga. Yang adalah menjelang matahari terbit. Atau sesaat sebelum matahari tenggelam.

Saya orang yang pernah hidup di kampung tepian Sungai Mahakam. Di Karangasam Samarinda. Sebelum mendapat wanita yang sekarang menjadi istri saya.

Saya sudah biasa melihat pemandangan sungai besar seperti itu. Mandi pun di atas kayu terapung yang diikat di pinggir sungai. Di situ pula toiletnya.

Baca Juga:Sambut Musim Tanam Padi, Desa Gempol Gelar Hajat BumiJelang Akhir Tahun, Bahan Pokok Naik

Bedanya, pinggiran sungai Gangga di Varanasi ini curam. Tidak perlu ada jembatan kayu menuju batang kayu yang diikat tadi.

Sepanjang pinggiran sungai Gangga sudah dibeton. Dengan mutu beton seadanya. Yang penting tidak becek. Trap-trap tangganya juga tidak seragam. Tiap mulut gang punya trapnya sendiri –menuju tempat perahu parkir.

Di beberapa tempat trap itu sampai ke dalam air. Banyak orang menceburkan diri di trap seperti itu. Tidak harus menyeberang ke bagian yang dangkal tadi.

Matahari sudah mulai bersinar terang. Saya kembali menyusuri gang tikus. Menuju jalan raya. Saya bisa melihat kondisi gang itu lebih jelas.

Sesekali melongokkan wajah ke dalam bilik rumah.

Perjalanan kian tersendat menelusuri gang ini. Sepeda motor ikut berebut gang sempit. Dengan suara mesin dan klaksonnya.

Sesekali saya juga harus berjungkit –banyak kotoran sapi di dekat sepatu.

Tidak sulit mencari Bajaj di mulut gang. Ini boleh dibilang kota Bajaj. Atau kota gerobak yang ditarik sepeda.

Baca Juga:Tax Gathering, KPP Pratama Usung ‘Maranggi’Karawang Clothing Expo 2019, “End Year Big Sale”

“Ke kuil Hanoman,” kata saya. Saya tidak perlu lagi bertanya: berapa ongkosnya. Saya sudah hafal perkiraan permintaan mereka. Sekitar Rp 50.000 – Rp 80.000.

Saya pun diantar ke kuil kera. Salah satu yang dianggap paling suci di kota suci Varanasi.

Hanoman ternyata dewa yang terfavorit di kalangan laki-laki.

Dalam perjalanan menuju Kuil Hanoman ini pikiran saya melayang ke Surabaya: mengapa Varanasi tidak mengangkat Bu Risma sebagai wali kotanya.(Dahlan Iskan)

Laman:

1 2 3
0 Komentar