Gerebek Sahur atau Gerobak Sahur?

0 Komentar

Wacana seruan tersebut dituturkan oleh sekelompok pemuda kepada warga setempat, pada dini hari di bulan Ramadan, dengan tujuan membangunkan warga untuk makan sahur. Berikut makna dibalik seruan sahur tersebut.

Kalimat 1: sahur sahur sahur subuh, mumpung masih ada waktu. Kalimat pertama ini mengandung deiksis. Deiksis adalah istilah untuk menunjukkan suatu makna di luar kata atau kalimat yang dituturkan gamblang. Deiksis yang terdapat dalam kalimat pertama yakni deiksis temporal yang menandakan “sekarang”. Sehingga tuturan tersebut bermaksud memberitakukan bahwa sekarang, waktu sudah subuh. Selain deiksis, kalimat pertama juga mengandung ilokusi. Ilokusi adalah tuturan yang mengharapkan respon atau tindakan dari orang yang mendengar tuturan itu. Ilokusi kalimat pertama yakni para pemuda (penutur) berharap warga (petutur) bangun sekarang juga untuk melaksanakan sahur.

Kalimat 2: sahur sahur sahur subuh, mumpung masih ada waktu. Kalimat kedua mengandung deiksis dan ilokusi yang sama dengan kalimat pertama. Tuturan ini dituturkan kembali karena khawatir tujuan belum tersampaikan karena petutur masih terlelap, juga untuk mempertegas.

Baca Juga:Sekcam BBC Serahkan Bantuan kepada 35 Anak Yatim PiatuAqua Bagikan 1.000 Paket Sembako

Kalimat 3: Bapak Iyos, anu bageur, dikopian, dikuehan [Bapak Iyos (menyebut nama warga), yang baik, pake kopi, pake kue]. Pada kalimat ketiga terjadi alih kode (alih bahasa) menjadi bahasa Sunda. Kalimat ketiga ini menjadi kalimat paling menarik. Jika dimaknai secara lurus, para pemuda seakan berujaran bahwa warga yang disebutkan namanya, sahur dengan minum kopi dan makan kue.
Kalimat ketiga merupakan tuturan ilokusi. Pemuda (penutur) berharap agar warga yang disebutkan namanya memberikan “kopi” dan “kue”. Secara struktur, tuturan ini termasuk tuturan langsung tak literal. Para pemuda meminta kopi dan kue, namun kopi dan kue yang dimaksud sebenarnya tak melulu kopi dan kue. Kopi dan kue telah menjadi sebutan lain untuk uang.

Hal ini diperkuat oleh terjadinya alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Sunda. Pada konteks ini, ada dua alasan mengapa terjadi alih kode. Pertama karena rasa hormat kepada mitra tutur yang lebih tua. Kedua karena ada tujuan khusus, yakni meminta sesuatu. Alih kode juga menjadi salah satu indikator kesantunan berbahasa. Selain itu, penyisipan diksi “anu bageur” (yang baik), memiliki daya tutur yang kuat dalam adu rayu.

0 Komentar