Islam Moderat, Perlukah?

Islam Moderat, Perlukah?
0 Komentar

Oleh : Iit Supriyatin

(Muslimah Peduli Ummat)

Salah satu aksioma yang kini tengah gencar ditebarkan oleh Barat melalui berbagai corong media mereka adalah atribut “Islam radikal” atau istilah radikalisme. Sebagai strategi adu domba sesama Muslim, maka Barat pun membuat istilah tandingan kontra radikalisme yang disebut dengan “Islam moderat”. Baik Islam radikal maupun Islam moderat, keduanya adalah istilah yang diproklamirkan Barat untuk menyerang Islam.

Islam moderat beberapa waktu yang lalu menjelma menjadi Islam Nusantara yang sempat menyulut polemik. Pengikut Islam moderat mengklaim dirinya sebagai penebar Islam washatiyah. Padahal secara epistemologis, istilah washatiyah tidaklah sama dengan kata moderat. Islam moderat justru lebih banyak mempropagandakan nilai-nilai Barat dibandingkan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri.

Muslim moderat adalah orang menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci peradaban demokrasi; termasuk di dalamnya gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme, dan menerima sumber-sumber hukum non-sektarian, serta melawan terorisme dan bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasan”, (Angel Rabasa, Cheryl Benard et all, Building Moderate Muslim Network, RAND Corporation, hlm. 66).

Baca Juga:Kembangkan Potensi, Masyarakat dan Perguruan Tinggi Jalin Sinergitas di Sukamulya CibogoPendamping PKH Sukses Dampingi Anak KPM Jadi Seorang Prajurit TNI

Maka siapa saja yang mencermati makna, penggagas dan praktik moderasi Islam, dapat menyimpulkan bahwa tujuan moderasi Islam di antaranya adalah deislamisasi, yakni merusak ajaran Islam, khususnya ajaran yang bertentangan dengan prinsip demokrasi-sekular-liberal dan kepentingan Barat.

Perlukah istilah Islam Moderat?

Sebagai satu sistem ajaran dan nilai, sepanjang sejarahnya, Islam tidak menafikan kemungkinan mengambil istilah-istilah asing untuk di adopsi menjadi istilah baru dalam khazanah Islam. Tetapi, istilah baru itu harus benar-benar di beri makna baru yang sesuai dengan Islam. Istilah itu tidak di biarkan liar, seperti maknanya yang asli dalam agama atau peradaban lain.

Misal kita mengambil istilah “agama”, seperti “pahala”, “dosa”, “sorga”, “neraka”, yang berasal dari tradisi Hindu. Tetapi, semua istilah itu di beri makna baru, sesuai dengan konsep Islam.

Begitu pun yang di ambil dari peradaban Barat, seperti istilah “worldview”, “ideologi”, “konsep”, “studi”, dan sebagainya. Artinya, semua istilah asing bisa di adopsi, asalkan sudah mengalami proses adapsi (penyesuaian makna) dengan makna di dalam Islam, sehingga tidak menimbulkan kekacauan makna.

0 Komentar