Narsisme

Kang Marbawi
0 Komentar

Tak ada lagi yang bersifat domestik atau private, semua terburai dalam ruang maya. Seolah berlomba memamerkan apa yang tampak atau tak kasat mata. Sesuatu yang private menjadi komoditi. Mengundang like, subscribe, komentar dan follower, dijadikan komodifikasi. Yang private diobral menjadi ranah publik. Sebaliknya yang publik justru disembunyikan dalam kotak pandora. Imagi informasi di media sosial, hanya selarik data mentah yang meninggalkan imagi, prasangka dan nyinyir. Membuat manusia terasing dari lingkungannya. Sekaligus mengidap gangguan kepribadian, narsistik. Narsisme yang menjadi epidemi sosial masyarakat saat ini.

Sigmund Freud menyebut Narcissistic dalam bukunya General Introduction to Psychoanalysis, merujuk kepada orang-orang yang merasa dirinya penting secara berlebihan dan terokupasi dengan keinginan mendapatkan perhatian. Seperti empunya narsis dari Yunani yaitu Narkissos atau Narcissus yang teramat mencintai bayangannya sendiri.

Tapi narsisme bukan soal selfi, update status, vlog atau youtuber. Narsis juga ada pada para pemeluk agama. Bahkan lebih dahsyat lagi dampak dari narsisme berbasis agama. Yaitu, penafsiran atas ajaran agama yang dianggap paling benar, mengabaikan tafsir lain dan menjadi salah tafsir, berbalut prasangka. Narsisme agama mendorong imagi kekerasan dan intoleransi.

Baca Juga:Produksi Bawang Merah Pusakajaya Subang Tak Kalah dari BrebesPabrik Katalis di Kawasan Industri Pupuk Kujang Cikampek Kurangi Bahan Bakar Fosil

Sikap narsis melahirkan proses dehumanisasi. Orang-orang yang narsis merasa lebih unggul daripada orang lain dan tak peduli dengan perasaan orang lain.

Narsisme bisa juga mengambil bentuk pamer kekerasan baik individu atau kolektive (hasd). Lihat saja narsisme pelaku tawuran dan anggota geng motor atau gangster yang memamerkan kekerasan kolektive. Narsisme untuk menunjukkan kekuatan, kekuasaan atau pengakuan, atau ujb. Juga narsisme kekuasaan birokrasi-oligarkhi. Dibalik itu, orang narsis adalah orang yang lemah, mudah tersinggung meski untuk kritikan kecil. Narsisme menjadi patologi sosial.

Narsisme seolah menjadi komoditas. Dengan pelbagai bentuk; kekerasan, selfish, tebar pesona (riya). Narsisme bermotif agama, sosial, ekonomi, kekuasaan, oligarkhi, kolektivitas, atau sekedar “cari muka”, menghasilkan komoditi kekerasan. Juga residu sosial psikologis baik ke dalam atau ke luar diri.
Dan media sosial memberi ruang untuk menunjukkan narsisme alter ego yang sengaja diciptakan. Motif dan alter ego yang mendorong keberpihakan. Keberpihakan kepada sesuatu yang menguatkan narsisme alter egonya. Karakter ego yang sengaja dibentuk secara sadar untuk mewujudkan idealitas diri dan direalisasikan dalam dunia nyata.

0 Komentar