Potensi Disorientasi Pemindahan Ibukota

0 Komentar

Jika salah prioritas dalam perencanaan pembangunan, hal ini justru akan berpotensi menyebabkan disorientasi. Seperti halnya pembangunan Bandara Kertajati yang masih sepi penumpang. Mestinya sebagai tahap awal, hal paling utama adalah justru membangun konektivitas daerah sekitar agar terhubung dengan Kertajati. Ketika dibalik, di mana pemerintah memancing pembangunan bandara dengan harapan pemerintah daerah melengkapinya dengan pembangunan jalur konektivitasnya, yang terjadi justru mangkrak.

Mestinya, ada komitmen atau dorongan terhadap pemerintah daerah terlebih dahulu. Setelah terjalin konektivitas dengan Kertajati, barulah pemerintah pusat mengeksekusi pembangunan bandara. Tanpa konektivitas, Bandara Kertajati tidak akan diminati oleh penumpang. Jika tingkat keterisian tidak ekonomis, maskapai plat merah pun akan berat mendapatkan penugasan melayani rute Kertajati.

Ilustrasi yang sama akan terjadi pada pembangunan ibukota baru. Bahkan, risiko negatifnya justru lebih besar. Pertama, penerima manfaat dari pembangunan (multiplier effect) tak optimal memberikan nilai tambah perekonomian daerah. Kedua, memicu terjadinya ekonomi biaya tinggi. Pasalnya, konsentrasi kegiatan ekonomi tetap di jawa, sementara berbagai proses perizinan berpindah ke Kalimantan. Ketiga, berpotensi memperlebar defisit neraca perdagangan. Percepatan kebutuhan pembangunan infrastruktur tentu akan memicu kebutuhan impor sebagaimana terjadi pada 2017-2019. (*)

Laman:

1 2 3
0 Komentar