Ujung Senja

Ujung Senja
0 Komentar

Ujung Senja

Ujung Senja itu tak nampak.

Dalam batas halang gedung dan sorot lampu kendaraan.

Pucuk sinar surya senja bertengger di ujung atap seng rumahku.

Juga rumah-rumah yang lain.

Memberi nuansa jingga berubah pelan menuju gelap.

Sesal itu tak datang begitu saja.

Seperti halnya sinar matari.

Dia selalu hadir untuk mengiringi langkah. Menjadi satuan waktu yang selalu dilewati dan dimaknai atau sekaligus tak dimaknai.

Mentari yang menjadi anutan masa membiarkan kita berbuat sesuka.

Pun membiarkan sesuka berbuah duka. Melahirkan sesak dan sesal.

Matari yang telah bertiwikrama menjadi waktu lalu, sekarang dan menjadi masa depan.

Menjadi pilihan berlaku lampah dalam mengarungi kehidupan.

Kehidupan yang digodai nafsu, asa, ego, dan kebercampuran sesama.

Menganggit ambisi dan lupa purwadaksi. Atau pun kebijakan dalam langkah yang santun.

Mentari sejatinya memanasi kehidupan untuk.menjadi bermakna.

Mengasahi nurani untuk tajam dalam kepekaan.

Menjaga kebeningan jiwa dalam nilai keadaban dan kemanusiaan.

Itupun dalam tindak waktu yang dimaknai dan disadari.

Disadari atas kebermaknaan hidup untuk memberi manfaat.

Waktu terus berjalan beriring dengan matari yang menyatu dalam kehidupan.

Tàk akan pernah berhenti.

Sebab perhentian sejatinya telah ditentukan.

Namun kita seharusnya merenungi waktu yang diberi.

Untuk menemukan nilai kebermaknaan dalam perjalanan dan kesempatan kehidupan.

Sekaligus asa untuk waktu yang mungkin masih dimiliki.

Waktu memberi kita untuk mengasah kedewasaan dan atau justru kebebalan.

Baca Juga:Tarif Listrik Tidak Naik, PLN Pastikan Pasokan Andal Dukung Pertumbuhan Ekonomi NasionalTransaksi Pengisian Kendaraan Listrik Saat Libur Natal 2023 di Jawa Barat Lebih Dari 1.800 Kali, Melonjak 569 Persen

Kebebalan yang lahir dari waktu yang tersibukkan dengan mengejar ambisi dan ego.

Menabalkan kebeningan nurani dan mengkaratkan kepekaan kemanusiaan.

Menyurukkan keadaban diri dalam laku memburu nafsu.

Kita selalu lupa untuk merenungi diri dan laku lampah.

Merenungi atas waktu yang telah lalu.

Kita selalu semangat untuk mengejar proyeksi sebagai ambisi.

Tuhan, sekian tahun Kau beri aku waktu. Terimakasih.

Juga penyelasalan atas laku yang tak patut. Kau beri lagi waktu.

Waktu yang tak membuka aib.

Waktu yang tak dimaknai.

Waktu yang begitu saja dibiarkan berlalu.

Tuhan Engkaulah penentu waktuku.

Waktu untuk bersuka, berduka, atau bersesal.

0 Komentar