Oleh: Rendy Jean SatriaPenyair dan Mahasiswa S2 Lobachevsky University, Rusia.
Dalam sejarah republik muda yang pernah diguncang oleh trauma otoritarianisme, kekuasaan selalu berjalan beriringan dengan memori kolektif yang terdistorsi.
Indonesia tidak terkecuali. Ketika Prabowo akhirnya naik ke tampuk tertinggi pemerintahan, saya melihat sebagai kulminasi dari dua hal: pertama, rekonsiliasi politik elitis pasca-Reformasi, dan kedua kemenangan narasi militeristik yang dibungkus dengan retorika populisme nasionalis.
Namun dalam pemikiran Hannah Arendt, kita perlu mengajukan satu pertanyaan fundamental: kekuasaan macam apa yang sedang kita saksikan, dan untuk siapa kekuasaan itu bekerja?
Baca Juga:PLN UID Jabar Catat Pertumbuhan Signifikan di Semester I 2025: Komitmen Penuh untuk Dukung Pembangunan JabarPastikan Pelayanan Masyarakat Optimal, Polres Subang Periksa 170 Kendaraan Dinas
Sejak awal masa kampanye hingga kini, Prabowo membangun wacana tentang kebangkitan Indonesia Raya yang kuat dan disegani. Tetapi kekuatan macam apa yang dimaksud? Jika kekuatan itu berarti kembalinya struktur militeristik dalam tubuh sipil—tercermin dari penempatan eks-jenderal dalam posisi strategis sipil—maka kita tengah menyaksikan bukan hanya regresi demokrasi, tetapi juga erosi terhadap semangat sipil 1998.
Gramsci mengingatkan bahwa hegemoni tidak dibangun hanya lewat paksaan, melainkan melalui konsensus yang dibentuk oleh wacana. Pemerintahan Prabowo sedang (dan mungkin berhasil) membangun konsensus baru, yakni bahwa stabilitas lebih penting daripada kebebasan sipil.
Sejarah rezim Orde Baru, misalnya di mana Prabowo menjadi salah satu aktor sentral, kini coba direkonstruksi menjadi bagian dari “pengorbanan untuk bangsa”. – salah satunya, dengan menulis ulang Sejarah Indonesia, versi pemerintahan Prabowo, yang saat ini, sedang digaungkan dan dikerjakan.
Saya melihat, pemerintahan Prabowo menunjukkan kecenderungan untuk memperkuat oligarki. Keputusan politik tidak lagi ditentukan melalui musyawarah kebangsaan, tetapi melalui konsensus elite yang saling mengamankan kepentingan- semisal, banyaknya pertemuan para tokoh elite bangsa di kediaman, Prabowo. Kita melihat ini dari keterlibatan figur-figur politik lama, perpanjangan punggawa yang pernah terlibat, serta konsesi ekonomi kepada kelompok korporasi besar yang memiliki relasi langsung dengan kekuasaan.
Hal ini menandakan bahwa kekuasaan tidak bekerja untuk rakyat, melainkan untuk melanggengkan sirkulasi kekuatan dalam satu lingkaran sempit. Lalu bagaimana dengan rakyat? Mereka dijanjikan swasembada, kedaulatan pangan, dan ketahanan energi.