Kesalehan Individu dan Sosial dalam Qurban dan Ibadah Haji

Kesalehan Individu dan Sosial dalam Qurban dan Ibadah Haji
0 Komentar

Kisah Ibrahim dan Musa yang diabadikan dalam Al Qur’an telah memberikan teladan bagi sebuah keluarga . Ismail adalah anak yang didambakan kehAdirannya di tengah keluarga selama berpuluh tahun , namun setelah lahir, Ibarahim AS mendapat perintah dari Allah swt secara langsung melalui mimpinya yang diulang ulang, pada hal Ismail adalah seorang anak yang sangat didambakan kelahirannya dan telah berpuluh tahun dinantikan. Orang tua nama tega membunuh anaknya apalagi dengan  cara disembelih. Akan tetapi Ibrahim begitu yakin melaksanakannya karena ini perintah Allah swt. Sebelumnya telah terjadi dialog yang menunjukkan demokratisasi dan keduanya sepakat untuki melaksanakan secara ikhlas. Ketika kedua telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya maka saat itu pula Allah swt mengganti Ismail dengan domba sembelihan yang besar. Jadi Ibrahim bukan menyembelih Ismail akan tetapi menggantinya dengan domba yang besar.

Kisah religi yang sangat menyentuh kalbu pembacanya , diabadikan dalam Al Qur’an QS As Saffat ayat 99-111 . Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai hari raya umat islam yang bernama hari raya Idul Qurban atau Idul Adha. Hari raya ini merupakan serentetan ibadah haji dan qurban merupakan moment penting dalam kehidupan beragama yang tidak hanya memupuk keshalehan indivudu akan tetapi menyentuh kepada keshalehan sosial. Keshalehan individu terbentuk karena ibadah haji dan kurban merupakan bukti ketaqwaan kita kepada Allah dengan melaksanakan perintahNya tanpa keraguan dan  keshalehan sosial terpupuk dari penyembelihan kurban sebagai bukti kepedulian kita dengan sesama mchluk hidup dengan membagikan daging kurban kepada masyarakat sekitarnya yang memerlukan untuk memupuk solidaritas sosial bagi pelakunya.

Bila direnungkan, setiap perintah agama yang dijalankan oleh umatnya , hampir tidak ada ibadah dalam islam yang berdimensi tunggal , akan tetapi selalu merupakan kolaborasi dimensi dunia dan akherat, dimensi individu dan sosial. Ini artinya bahwa hubungan baik seseorang dengan sang pencipta harus dibarengi dengan hubungan mesra dengan machluk ciptaannya. Sayang jika kita temukan kehidupan umat di sekitar kita yang beribadahnya seolah lebih banyak bersifat individual, jadi bagaikan pohon yang tidak menghasilkan buah yang memberi manfaat bagi orang di sekitarnya. Mungkin dimensi sosial dianggap persoalan yang tidak penting sehingga tidak begitu menjadi pusat perhatian. Inilah titik krusial orang yang menjalankan agamanya tetapi belum menjalankan fungsi sosialnya.

0 Komentar