NEGARA MERDEKA Ala MOBIL ODONG-ODONG

Ilustrasi Penulis Opini, via Unsplash-rupixen,com
Ilustrasi Penulis Opini, via Unsplash-rupixen,com
0 Komentar

Kehadiran Odong-odong seakan-akan menjadi oase bagi rakyat. Ditengah-tengah lapangan kerja di negeri ini yang semakin sulit. Lapangan kerja yang ada, mulai tergantikan oleh tenaga kerja asing. Jika pun ada, sifatnya outsourcing. Biaya hidup semakin tinggi, rakyat menjerit. Biaya sekolah semakin mahal, apalagi tingkat perguruan tinggi. Adanya Odong-odong ini, membuka lapangan kerja baru. Entah berapa banyak tenaga kerja yang diserap? Dan entah berapa banyak keluarga kebutuhan hidupnya terpenuhi?

Secara yuridis eksistensi mobil Odong-odong memang melanggar peraturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan. Tapi, rakyat tak peduli legal atau ilegalnya mobil Odong-odong. Buktinya Odong-odong menjadi kendaraan favorit dalam berbagai acara, seperti: pawai, pesta, pengajian, wisata dan sebagainya.

LIHAT JUGA: Pojokan 165, Merdeka

Menyikapi Odong-odong ini, pengambil kebijakan harus bijaksana. Jika secara yuridis bermasalah. Alangkah eloknya seperti pepatah di Minangkabau “bak manatiang minyak panuah, bak maelo rambuik dalam tapuang” (bagaikan membawa minyak penuh, bagaikan menarik rambut dalam tepung). Maksudnya mengambil kebijakan terhadap sesuatu harus penuh pertimbangan, tidak grasah-grusuh, penuh kehati-hatian. Sehingga melahirkan keputusan yang baik dan tidak melukai perasaan rakyat.

Baca Juga:Ridwan Kamil Resmikan Tapal Desa Leuit Juara di Kabupaten CirebonRidwan Kamil Optimistis Pangdam III Siliwangi Baru Dukung Jabar Juara

Odong-odong merupakan simbol kemerdekaan rakyat. Di dalamnya penuh dengan gelak dan canda. Senyum kebahagiaan tampak merekah. Mereka melupakan pekerjaan rumah tangga yang tak pernah berkesudahan. Mereka melupakan himpitan ekonomi yang semakin berat. Kebutuhan rakyat yang disediakan negara bertambah mahal. Pendidikan mahal, BBM mahal, listrik mahal, pupuk mahal, LPG mahal, dan lain-lain. Berbanding terbalik dengan komoditi yang dihasilkan rakyat. Pinang dan karet harganya hancur. Sawitnya harganya kembali turun. Padi saat panen raya harganya anjlok, karena adanya kebijakan impor.

LIHAT JUGA: Pojokan 164, Gelisah

Sungguh, amat miris nasib rakyat di negeri yang kaya raya ini. Negeri yang dikenal dengan sebutan zamrud Khatulistiwa. Tongkat dan kayu jadi tanaman. Tapi, apa yang terjadi? Karena salah urus oleh penguasa. Rakyatnya tetap miskin dan bertambah miskin. Ibarat kata pepatah, “itik berenang di atas air, mati kehausan dan ayam bertelur di atas padi, mati kelaparan”.

0 Komentar