Druze

Druze
0 Komentar

Waktu saya kecil kata bulgur itu terkenal. Dan tercemar. Sudah sering saya mendengarnya. Orang desa ramai membicarakannya. Dengan nada menghina. Dan melecehkannya.

Waktu itu akhir zaman pemerintahan Bung Karno. Tidak ada bahan pangan. Kelaparan di mana-mana. Tidak ada beras. Biasanya, kalau tidak ada beras, terpaksa makan nasi jagung. Tapi jagung juga tidak ada.

Biasanya kami masih bisa dapat bahan makanan yang terjelek: gaplek. Singkong yang dikeringkan. Lalu ditepungkan. Dibuat tiwul. Itulah ‘kasta’ makanan yang paling rendah.

Baca Juga:KPPN Serahkan DIPA 2019 kepada 59 Satuan Kerja, Total Anggaran Mencapai Rp 3,5 TriliunBerkedok Jualan Es, Dua Ibu Rumah Tangga Jual Miras

Tapi, zaman itu, gaplek pun tidak ada. Pemerintah membagi sesuatu yang sangat asing. Untuk pegawai negeri. Disebut ‘beras bulgur’.

Orang desa sangat membencinya. Tidak enak di rasa. Terhina di dada. Istilah ‘sampai makan beras bulgur’ adalah menunjukkan betapa kelaparannya manusia.

Kami tidak mau makan bulgur pembagian itu. Kami pilih makan ganyong. Umbi-umbian yang batang dan umbinya mirip lengkuas.

Atau umbi lain. Yang masaknya sangat sulit: agar tidak gatal di lidah. Saya lupa namanya. Please.

Mencari umbi tersebut juga sulit. Saya harus ke bawah-bawah rimbunan bambu liar. Menggali-nggali tanah di situ. Kadang dapat. Kadang tidak.

Itulah zaman susah. Dulu. Kini saya juga lapar. Saat tiba di istana Druze ini. Berangkat dari Beirut tadi saya tidak makan pagi. Hanya makan buah srikaya. Yang banyak sekali di Beirut. Dan enak sekali rasanya. Dan murah sekali harganya.

“Siapa yang masak bulgur ini?” tanya saya ke Druze tua itu.
“Hia,” jawabnya. Sambil menunjuk istrinya. ‘Hia’ adalah bahasa Arab untuk ‘dia’. Sedang ‘hua’ bahasa Arab untuk ‘ia’. “Enak sekali,” kata saya. Tidak mewakili tenggorokan saya. “Syukron jazila,” kata saya lagi.

Baca Juga:Iik Selamat dari Gulungan Ombak Tsunami di BantenBelasan Warga jadi Korban Bencana Tsunami, Satu Meninggal Dunia, Saat Berlibur di Banten

Druze tua itu tersenyum. Menerima ucapan terima kasih saya dengan sangat senang. Pun isterinya.

Saya ternyata dianggapnya bisa makan bulgur. Bulgur di Lebanon tidak ada hubungannya dengan status kaya-miskin.

Selama saya makan itulah. Beberapa petugas keamanan keluar masuk kantin. Melihat saya. Bertegur sapa.

Ternyata kantin itu bagian dari dapur istana. Yang memasakkan seluruh petugas keamanan di situ. Sekitar 40 orang banyaknya. Druze tua tadi, dan isterinya tadi, adalah juru masaknya.

0 Komentar