Druze

Druze
0 Komentar

Bereslah. Selesai makan itu saya dipersilakan masuk istana. Bahkan tidak perlu mengajari sopir mencuri foto. Saya dibebaskan memotret apa saja.

Sopir saya pun boleh ikut masuk. Ia bersorak keras. Di dalam hati. Dengan semangat lautan api. Meluap. Riang gembira. Luar biasa. Jauh dari bayangannya yang menakutkan.

Ia mengambil foto melebihi saya. Minta difoto pula. Tidak habis-habisnya. Termasuk dengan tentara Druze yang semula menakutkannya.

Baca Juga:KPPN Serahkan DIPA 2019 kepada 59 Satuan Kerja, Total Anggaran Mencapai Rp 3,5 TriliunBerkedok Jualan Es, Dua Ibu Rumah Tangga Jual Miras

Nanti, dalam perjalanan kembali ke Beirut, hebohnya bukan main. Sopir saya itu sangat-sangat happy. Ia tilpon teman-temannya. Ia ceritakan kehebatan dirinya: bisa masuk istana Druze di Moukhtara. Ia kirim foto-fotonya. Lewat HP-nya.

Itulah perjalanan lintas batas yang jauh. Baginya. Dari benua Hisbullah. Ke benua Druze. Saya sendiri sibuk mengamati semua bangunan ini. Dan ruangan-ruangannya.

“Ini ruang khusus,” kata petugas istana.

Di ruang itu ada lukisan Kamal Jumlatt naik kuda. Besar sekali. Dengan heroiknya. Dengan pangkat-pangkat ala Bung Karnonya.
“Biasanya beliau dulu duduk di situ. Menerima pengaduan masyarakat umum,” tambahnya.

Itu adat kerajaan Arab di masa lalu. Rakyat jelata pun bisa langsung mengadu ke raja. Langsung. Pada hari-hari yang ditentukan. Tanpa seleksi atau mobilisasi.

Tentu saya juga banyak ambil foto. Termasuk foto pohon zaitun tua. Yang baru setahun dipindah ke situ.
Begitu besar pohon zaitun ini. Begitu tua tongkrongannya.

Bandingkan dengan pohon zaitun pada umumnya. Yang hanya seperti pohon lamtoro. Bahkan lebih kecil dan pendek lagi.
Saya juga tertarik pada bangunan baru. Yang menempel serasi di istana itu. Dengan arsitektur postmonya.

Lamat-lamat terbaca tulisan Arab ‘Allah’ di atas sana. Lalu terbaca tulisan ‘Nas’ jauh di bawah sana. Menandakan Tuhan dan Manusia. Ternyata itu masjid.

Baca Juga:Iik Selamat dari Gulungan Ombak Tsunami di BantenBelasan Warga jadi Korban Bencana Tsunami, Satu Meninggal Dunia, Saat Berlibur di Banten

Saya kaget. Druze punya masjid. Setengah tidak percaya. Saya masuk ke dalamnya. Masjid beneran.

Banyak Quran. Banyak rehal – – tempat baca Quran di lantai.
Saya buka Quran itu. Tidak ada beda. Tapi juga tidak ada orang salat di dalamnya.

“Itu masjid Druze?” tanya saya.

“Bukan. Itu masjid moslem biasa,” jawab tentara di pos penjagaan itu.

0 Komentar