Nasib Guru Bak Kue Bolu

Nasib Guru Bak Kue Bolu (Yudi Septawardana, M.A)
Nasib Guru Bak Kue Bolu (Yudi Septawardana, M.A)
0 Komentar

Kue Bolu; Panas di Atas

Panas di atas menunjukkan kebijakan-kebijakan negara terkesan tidak mendukung profesi guru.

Ada beberapa indikasi yang membuktikan tentang itu.

Berangkali bagi sebagian orang dianggap tidak masalah.

Padahal itu bisa menjadi pemicu dan sumber yang berkontribusi memperburuk dunia pendidikan bangsa ini. Di antara indikasi itu, sebagai berikut:

  1. Guru dan Politik

Ada kalimat yang menyatakan guru dilarang berpolitik.

Tapi, guru sering menjadi korban politik. Kalau politik praktis, dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Itulah larangan yang sebenarnya.

Baca Juga:MANJUR! Begini Cara Mencari Teman di Instagram dengan Nomor Hp Tanpa RibetSerunya Bermain 3 Game Tembak Tembakan Online Gratis, Nikmati Aksi Tanpa Batas!

Masalahnya kemudian, ketika guru juga dilarang menunjukkan ekspresi dan kiblat politiknya. Tentunya  memberikan kesan yang kurang elok.

Karena jiwa politik dalam diri guru seperti dicabut secara paksa. Biarkan mereka berpolitik “santun”, mengedepankan nilai-nilai, agama, adat, dan etika.

Dituntut guru bersifat netral, sebagaimana tertuang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.

LIHAT JUGA: NEGARA MERDEKA Ala MOBIL ODONG-ODONG

Pemangku kekuasaan juga harus netral saat berkuasa.

Menempatkan seseorang pada tempatnya sesuai dengan kompetensinya (right man on the place). Bukan, karena sudah mendukung si anu.

Maka, ia mendapatkan jabatan anu. Bukan karena ia “ring satu” atau menjadi tim sukses.

Maka, ia boleh memilih jabatan mana yang disukai. Atau menitipkan seseorang pada posisi dan jabatan tertentu pada berbagai instansi.

Akibat ketidaknetralan penguasa. Tampak ketidakadilan di mana-mana. Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) begitu kentara.

Baca Juga:Rahasia Kreatif, 2 Cara Bikin Stiker WhatsApp dari Foto Favorit Anda2 Cara Bikin Stiker Whatsapp di iPhone dengan Foto Sendiri, Tanpa Aplikasi dan dengan Aplikasi!

Seperti pepatah Minangkabau yang sering dikutip Datuak Karni Ilyas dalam acara ILC, “basuluah matoari, bagalanggang mato urang banyak” (bersuluh matahari, bergelanggang/ disaksikan mata orang banyak”. Melahirkan kebijakan terhadap guru tidak berbasis kompetensi.

Tapi berbasis like and dislike. Oposisi atau koalisi. Akibatnya, terpaksa berpisah dengan keluarga, karena mutasi. Ada atasan dijadikan bawahan atau sebaliknya.

Dimutasi ke lokasi baru, tak jelas apa yang akan dikerjakan (non job).

Adapula diangkat tanpa ada pengalaman. Tak sesuai kompetensi, dengan jabatan yang diberi.

Ungkapan, “pengalaman adalah guru yang terbaik”, hanya sebatas di bibir.

Kata dan perbuatan tidak sama. Melahirkan penguasa atau pejabat berjiwa munafik (hipokrit).

0 Komentar